Dalam
buku “The History of Photography” karya Alma Davenport, terbitan
University of New Mexico Press tahun 1991, disebutkan bahwa pada abad
ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang lelaki berkebangsaan Cina bernama Mo
Ti sudah mengamati sebuah gejala fotografi. Apabila pada dinding ruangan
yang gelap terdapat lubang kecil (pinhole), maka di bagian dalam ruang
itu pemandangan yang ada di luar akan terefleksikan secara terbalik
lewat lubang tadi.
Selang beberapa abad kemudian, banyak
ilmuwan menyadari serta mengagumi fenomena pinhole tadi. Bahkan pada
abad ke-3 SM, Aristoteles mencoba menjabarkan fenomena pinhole tadi
dengan segala ide yang ia miliki, lalu memperkenalkannya kepada kyalayak
ramai. Aristoteles merentangkan kulit yang diberi lubang kecil, lalu
digelar di atas tanah dan memberinya jarak untuk menangkap bayangan
matahari. Dalam eksperimennya itu, cahaya dapat menembus dan memantul di
atas tanah sehingga gerhana matahari dapat diamati. Khalayak pun dibuat
terperangah. Selanjutnya, pada abad ke-10 Masehi, seorang
ilmuwan muslim asal Irak yang bernama Ibnu Al-Haitham juga menemukan
prinsip kerja kamera seperti yang ditemukan Mo Ti. Ia pun mulai meneliti
berbagai ragam fenomena cahaya, termasuk sistem penglihatan manusia.
Lalu, Haitham bersama muridnya, Kamal ad-Din, untuk pertama kali
memperkenalkan fenomena obscura kepada orang-orang di sekelilingnya.
Waktu itu, obscura yang ia maksud adalah sebuah ruangan tertutup yang di
salah satu sisinya terdapat sebuah lubang kecil sehingga seberkas
cahaya dapat masuk dan membuat bayangan dari benda-benda yang ada di
depannya. Tak heran, pada abad ke-11 M, orang-orang Arab sudah
memakainya sebagai hiburan dengan menjadikan tenda mereka sebagai kamera
obscura.
Kemudian kamera obscura mulai diteliti lagi oleh
Leonardo da Vinci, seorang pelukis dan ilmuwan, pada akhir abad ke-15.
Ia menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi asal muasal kata
"kamera" itu dan mulai menyempurnakannya. Pada mulanya kamera ini tidak
begitu diminati karena cahaya yang masuk amat sedikit, sehingga bayangan
yang terbentuk pun samar-samar. Penggunaan kamera ini baru populer
setelah lensa ditemukan pada tahun 1550. Dengan lensa pada kamera ini,
maka cahaya yang masuk ke kamera dapat diperbanyak, dan gambar dapat
dipusatkan sehingga menjadi lebih sempurna.
Pada tahun 1575,
para ilmuwan berhasil membuat kamera portable yang pertama. Tapi kamera
buatan yang sangat kuno ini tetap hanya bisa digunakan untuk menggambar.
Lalu pada tahun 1680 lahir kamera refleks pertama yang penggunaannya
juga masih untuk menggambar, tapi sudah memiliki sedikit kemajuan. Tapi,
lantaran bahan baku untuk mengabadikan benda-benda yang berada di depan
lensa belum ditemukan, maka kamera ini juga masih dipakai untuk
mempermudah proses penggambaran benda.
Joseph Nicephore Niepce
Sejarah penemuan film baru dimulai pada tahun 1826. Joseph Nicephore
Niepce, seorang veteran Perancis, bereksperimen menggunakan kamera
obscura dan plat logam yang dilapisi bahan aspal untuk mengabadikan
gambar sebuah obyek. Setelah 8 jam mengekspos pemandangan dari jendela
kamarnya melalui proses “Heliogravure”, ia berhasil melahirkan sebuah
imaji yang agak kabur dan mempertahankan gambar secara permanen.
Keberhasilannya itu dianggap sebagai awal dari sejarah fotografi. Gambar
yang dibuat oleh Niepce itu diberi judul “View from The Window at Le
Gras” dan menjadi foto pertama yang pernah ada di dunia. Kalau nama
Niepce tercatat sebagai fotografer pertama yang mengabadikan sebuah
gambar, Louis J.M. Daguerre adalah orang yang pertama kali membuat foto
yang di dalamnya terdapat sosok manusia. Pada foto yang diambil dari
jarak jauh di tahun 1839 itu, tampak seseorang lelaki sedang berdiri dan
mengangkat salah satu kaki saat sepatunya sedang dibersihkan oleh orang
lain di pinggir sebuah jalan raya. Daguerre dinobatkan sebagai orang
pertama yang berhasil membuat gambar permanen pada lembaran plat tembaga
perak yang dilapisi larutan iodin, lalu disinari selama satu setengah
jam dengan pemanas mercuri (neon). Proses ini disebut “daguerreotype”.
Untuk membuat gambar permanen, pelat itu dicuci dengan larutan garam
dapur dan air suling.
Percobaan-demi percobaan terus berlanjut,
sampai akhirnya William Henry Talbott dari Inggris pada 25 Januari 1839
memperkenalkan “lukisan fotografi” yang juga menggunakan kamera
obscura, tapi ia membuat foto positifnya pada sehelai kertas chlorida
perak. Kemudian, pada tahun yang sama Talbot menemukan cikal bakal film
negatif modern yang terbuat dari lembar kertas beremulsi, yang bisa
digunakan untuk mencetak foto dengan cara “contact print”. Teknik ini
juga bisa digunakan untuk cetak ulang layaknya film negatif modern.
Proses ini disebut Calotype yang kemudian dikembangkan menjadi
Talbotypes. Untuk menghasilkan gambar positif, Talbot menggunakan proses
Saltprint. Gambar dengan film negatif pertama yang dibuat Talbot pada
Agustus 1835 adalah pemandangan pintu perpustakaan di rumahnya di Hacock
Abbey, Wiltshire, Inggris.
Penemuan-penemuan teknologi pun
semakin bermunculan seiring dengan masuknya fotografi ke dunia
jurnalistik. Tapi, lantaran orang-orang jurnalistik belum bisa
memasukkan foto ke dalam proses cetak, mereka menyalin foto yang ada
dengan menggambarnya memakai tangan. Surat kabar pertama yang memuat
gambar dengan teknik ini adalah The Daily Graphic, yakni pada 16 April
1877. Gambar berita pertama dalam surat kabar itu adalah sebuah
peristiwa kebakaran.
Kemudian, ditemukanlah proses cetak “half
tone” pada tahun 1880 yang memungkinkan foto dimasukkan ke dalam surat
kabar. Foto paling pertama yang ada di surat kabar adalah foto tambang
pengeboran minyak Shantytown yang muncul di surat kabar “New York Daily
Graphic” di Amerika Serikat pada tanggal 4 Maret 1880. Foto itu adalah
karya Henry J Newton.
Fotografi kemudian berkembang dengan
sangat cepat. Menurut Szarkowski dalam Hartoyo (2004: 22), arsitek utama
dunia fotografi modern adalah seorang pengusaha bernama George Eastman.
Melalui perusahaannya yang bernama Kodak Eastman, George Eastman
mengembangkan fotografi dengan menciptakan serta menjual roll film dan
kamera boks yang praktis. Saat itu, dunia fotografi sudah mengenal
perbaikan lensa, shutter, film, dan kertas foto. Penemuan-penemuan
tersebut telah mempermudah orang mengabadikan benda-benda yang berada di
depan lensa dan mereproduksinya. Dengan demikian, para fotografer, baik
amatir maupun profesional, bisa menghasilkan suatu karya seni tinggi
tanpa terhalang oleh keterbatasan teknologi.
Pada Tahun 1900
seorang juru gambar telah menciptakan kamera Mammoth. Ukuran kamera ini
amat besar. Beratnya 1,400 pon, sedangkan lensanya memiliki berat 500
pon. Untuk mengoperasikan atau memindahkannya, sang fotografer
membutuhkan bantuan 15 orang. Kamera ini menggunakan film sebesar 4,5 x 8
kaki dan membutuhkan bahan kimia sebanyak 10 galon ketika memprosesnya.
Orang paling pertama yang ada di foto sejak kamera dibuat.
Lalu, pada tahun 1950, pemakaian prisma untuk memudahkan pembidikan
pada kamera Single Lens Reflex (SLR) mulai ramai. Dan di tahun yang
sama, Jepang mulai memasuki dunia fotografi dengan memproduksi kamera
NIKON. Di tahun 1972, kamera Polaroid yang ditemukan oleh Edwin Land
mulai dipasarkan. Kamera Polaroid ini mampu menghasilkan gambar tanpa
melalui proses pengembangan dan pencetakan film.
Kemajuan
teknologi turut memacu fotografi dengan sangat cepat. Kalau dulu kamera
sebesar tenda hanya bisa menghasilkan gambar yang tidak terlalu tajam,
kini kamera digital yang cuma sebesar dompet mampu membuat foto yang
sangat tajam dalam ukuran sebesar koran.
Sejarah Fotografi di Indonesia
Perkembangan fotografi di Indonesia selalu berkaitan dan mengalir
bersama momentum sosial-politik perjalanan bangsa ini, mulai dari
momentum perubahan kebijakan politik kolonial, revolusi kemerdekaan,
ledakan ekonomi di awal 1980-an, sampai Reformasi 1998.
Pada
tahun 1841, seorang pegawai kesehatan Belanda bernama Juriaan Munich
mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat di Batavia
dengan membawa dauguerreotype. Munich diberi tugas mengabadikan
tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara
untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam. Sejak saat itu, kamera
menjadi bagian dari teknologi modern yang dipakai Pemerintah Belanda
untuk menjalankan kebijakan barunya. Penguasaan dan kontrol terhadap
tanah jajahan tidak lagi dilakukan dengan membangun benteng pertahanan
atau penempatan pasukan dan meriam, melainkan dengan cara menguasai
teknologi transportasi dan komunikasi modern. Dalam kerangka ini,
fotografi menjalankan fungsinya lewat pekerja administratif kolonial,
pegawai pengadilan, opsir militer, dan misionaris.
Latar
itulah yang menjelaskan mengapa selama 100 tahun keberadaan fotografi di
Indonesia (1841-1941) penguasaan alat ini secara eksklusif ada di
tangan orang Eropa, sedikit orang Cina, dan Jepang. Berdasarkan survei
dan hasil riset di studio foto-foto komersial di Hindia Belanda tentang
foto-foto yang ada sejak tahun 1850 hingga 1940, dari 540 studio foto di
75 kota besar dan kecil, terdapat 315 nama orang Eropa, 186 orang Cina,
45 orang Jepang, dan hanya empat orang lokal Indonesia, salah satunya
adalah Kasian Cephas.
Kasian Cephas adalah warga lokal asli. Ia
dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1844 di Yogyakarta. Cephas
sebenarnya adalah asli pribumi yang kemudian diangkat sebagai anak oleh
pasangan Adrianus Schalk dan Eta philipina Kreeft, lalu disekolahkan ke
Belanda. Cephas-lah yang pertama kali mengenalkan dunia fotografi ke
Indonesia. Meski demikian, literatur-literatur sejarah Indonesia sangat
jarang menyebut namanya sebagai pribumi pertama yang berkarir sebagai
fotografer profesional. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya
fotografi tertuanya buatan tahun 1875.
Dibutuhkan waktu hampir
seratus tahun bagi bangsa ini untuk benar-benar mengenal dunia
fotografi. Masuknya Jepang pada tahun 1942 telah menciptakan kesempatan
bagi bangsa Indonesia untuk menyerap teknologi ini. Demi kebutuhan
propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer
untuk bekerja di kantor berita mereka, Domei. Pada saat itulah muncul
nama Mendur Bersaudara. Merekalah yang membentuk imaji baru tentang
bangsa Indonesia.
Lewat fotografi, Mendur bersaudara berusaha
menggiring mental bangsa ini menjadi bermental sama tinggi dan
sederajat. Frans Mendur bersama kakaknya, Alex Mendur, juga menjadi icon
bagi dunia fotografer nasional. Mereka kerap merekam
peristiwa-peristiwa penting bagi negeri ini, salah satunya adalah
mengabadikan detik-detik pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia. Inilah momentum ketika fotografi benar-benar "sampai" ke
Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dan orang Indonesia mulai
merepresentasikan dirinya sendiri.
SEJARAH FOTOGRAFI INDONESIA
Sejarah
fotografi di Indonesia dimulai pada tahun 1857, pada saat 2 orang juru
foto Woodbury dan Page membuka sebuah studio foto di Harmonie, Batavia.
Masuknya fotografi ke Indonesia tepat 18 tahun setelah Daguerre
mengumumkan hasil penelitiannya yang kemudian disebut-sebut sebagai awal
perkembangan fotografi komersil. Studio fotopun semakin ramai di
Batavia. Dan kemudian banyak fotografer professional maupun amatir
mendokumentasikan hiruk pikuk dan keragaman etnis di Batavia.
Masuknya
fotografi di Indonesia adalah tahun awal dari lahirnya teknologi
fotografi, maka kamera yang adapun masih berat dan menggunakan teknologi
yang sederhana. Teknologi kamera pada masa itu hanya mampun merekam
gambar yang statis. Karena itu kebanyakan foto kota hasil karya Woodbury
dan Page terlihat sepi karena belum memungkinkan untuk merekam gambar
yang bergerak.
Terkadang
fotografer harus menggiring pedagang dan pembelinya ke dalam studio
untuk dapat merekam suasana hirup pikuk pusat perbelanjaan. Oleh sebab
itu telihat bahwa pedagang dan pembelinya beraktifitas membelakangi
sebuah layar. Ini karena teknologi kamera masih sederhana dan masih
riskan jika terlalu sering dibawa kemana-mana.
Pada
tahun 1900an, muncul penemuan kamera yang lebih sederhana dan mudah
untuk dibawa kemana-mana sehingga memungkinkan para fotografer untuk
melakukan pemotretan outdoor. Bisa dibilang ini adalah awal munculnya
kamera modern.Karena bentuknya yang lebih sederhana, kamera kemudian
tidak dimiliki oleh fotografer saja tetapi juga dimiliki oleh masyarakat
awam.
Banyak
karya-karya fotografer maupun masyarakat awam yang dibuat pada masa
awal perkembangan fotografi di Indonesia tersimpan di Museum Sejarah
Jakarta. Seperti namanya, museum ini hanya menghadirkan foto-foto kota
Jakarta pada jaman penjajahan Belanda saja. Karena memang perkembangan
teknologi fotografi belum masuk ke daerah. Salah satu foto yang
dipamerkan adalah suasana Pasar Pagi, Glodok, Jakarta pada tahun 1930an.
Pada awal dibangun, pasar ini hanya diisi oleh beberapa lapak pedagang
saja. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana Glodok merupakan pusat
perbelanjaan terbesar di Jakarta.
Cephas
lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga
yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang
bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa
kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa). Cephas
mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia
sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di
Jawa Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912
menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama
Simon Willem Camerik.
Kamera daguerra
Kassian chepas
Foto candi karya kassian chepas
Sultan Hamengku Buwono VII karya Kassian Cephas
Sumber : http://melukisdengancahaya.weebly.com/sejarah-fotografi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar